Konsep bangunan hijau (green building) yang ramah lingkungan saat ini sedang gencar-gencarnya berkembang di dunia konstruksi. Perkembangan berikutnya tidak sekedar berupa konsep, tapi sudah dan telah dibuat pedoman dan aturan perencanaan, pelaksanaan dan operasional bangunan yang betul-betul memperhatikan kondisi lingkungan dan dampak terhadap lingkungan yang timbul.
Salah satu bagian penting dalam konsep bangunan hijau adalah penggunaan material-material konstruksi yang ramah lingkungan. Dimana material konstruksi tersebut diambil, diproduksi, digunakan dan dirawat dengan seminimal mungkin berkontribusi pada kerusakan lingkungan.
Seperti halnya dengan material beton yang dewasa ini banyak digunakan pada hampir semua bangunan yang didirikan. Beton tersusun atas material semen, pasir, kerikil, dan air, yang terkadang juga diberikan bahan-bahan tambah lainnya untuk mencapai performa beton yang diinginkan.
Material semen, walaupun dalam beton digunakan sekitar 7%-15%, ternyata untuk menghasilkan semen digunakan energi yang cukup besar dan limbah yang melimpah juga, sehingga akan sangat berpengaruh pada kondisi lingkungan.
Hasil kajian Neville, Davidovits dan Mehta, yang berkaitan dengan pengaruh penggunaan semen terhadap lingkungan, terdapat beberapa kelemahan yakni : (1) kurang efisien dalam pemakaian bahan mentah/raw material, karena dalam pembuatan 1 ton klinker OPC dibutuhkan ± 1.7 ton raw material, (2) kebutuhan energi yang besar (dibutuhkan pemanasan pada tungku pembakar hingga ± 1450OC) untuk mendapatkan klinker, (3) kurang ramah lingkungan karena produksinya mengeluarkan emisi gas CO2 yang besar (produksi 1 ton klinker OPC menghasilkan 1 ton CO2), (4) memiliki kerentanan yang tinggi terhadap masalah durabilitas/ketahanan karena produk hidrasi semen OPC menghasilkan mineral Ca(OH)2 yang mudah terlarut, dan (5) harga semakin mahal.
Sedangkan penggunaan material agregat kerikil dan pasir, yang merupakan bahan penyusun utama beton, sekitar 80%, apabila penambangannya tidak terkendali dan serampangan, tentu akan menimbulkan degradasi lingkungan yang cukup besar.
Oleh karena itu, saat ini perlu dipikirkan penggunaan material penyusun beton yang dibuat dengan konsep ramah lingkungan. Atau diupayakan material lain yang mempunyai karakteristik, performa dan kekuatan yang menyamai material beton tapi juga ramah lingkungan.
Menurut The Institution of Structural Engineers/ISE, 1999, pembuatan material penyusun beton yang ramah lingkungan ini dapat dilakukan dengan mewujudkan 3 (tiga) usaha kelangsungan dan konservasi lingkungan, yaitu: (1) pengurangan emisi gas rumah kaca (terbesar adalah CO2), (2) efisiensi energi dan material dasar, (3) penggunaan material buangan/waste, dan dan (4) pengurangan efek yang mengganggu kesehatan/keselamatan pada pengguna konstruksi, baik yang timbul selama proses konstruksi ataupun yang timbul selama operasi bangunan, dengan menggunakan Konsep 4R (Reduce, Refurbish, Reuse and Recycle).
Pada kesempatan seminar, Iswandi Imran menyatakan bahwa material beton yang bahan bakunya memenuhi karakteristik tersebut dapat dikatakan sebagai material beton yang ramah lingkungan (green concrete) ataupun yang lebih ramah lingkungan (greener concrete).
Setiap material yang bersumber dari alam mempunyai profil ekologis masing-masing, dari saat pengambilan di alam hingga digunakan dan perawatannya. Profil ekologis ini akan sangat menentukan apakah material tersebut dalam katergori ramah lingkungan atau tidak. Beberapa parameter profil ekologis adalah apakah material tersebut berdampak pada pengundulan hutan (deforestation), mereduksi sumber daya tanah, konsumsi energinya, konsumsi airnya dan besar kecilnya limbah yang dihasilkan.
Dari gambaran di atas, ternyata memang material beton masih mempunyai profil ekologis yang dapat mengancam lingkungan. Sehingga diperlukan upaya-upaya nyata untuk mengembangkan beton yang ramah lingkungan.
Diantara upaya itu adalah dengan mereduksi penggunaan semen sebagai bahan pengikat beton, dengan melakukan pengkajian dan pemanfaatan material lain seperti fly ash, hulk ash, abu ampas tebu, metakaolin, silika fume sebagai pozzolan yang dapat mengurangi sebagian penggunaan semen. Mengembangkan rancang campur beton mutu tinggi, penggunaan material daur ulang, material buatan dan limbah industri seperti tailing, bottom ash, feronikel dan gelas sebagai agregat.
Saat ini juga telah dikembangkan bacteria-based self healing concrete atau beton yang dapat memperbaiki sendiri dengan memanfaatkan bakteri, dan material pengganti semen sebagai bahan dasar pengikat beton seperti alkali activated material dan geopolymer yakni material yang dibentuk dengan menggunakan aktivasi alkali pada material dasar yang kaya silika-alumina sebagai precursor.***
Oleh : Dr. Achmad Basuki, ST. MT.
Dimuat di Harian SUARA MERDEKA, Senin 1 Oktober 2012